Rabu, 16 Desember 2015

Makalah Hukum Acara Perdata Putusan Hakim

BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang 
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini. 

1.2 Rumusan Masalah 
1. Apa arti putusan hakim ?
2. Apakah susunan dan isi putusan hakim ?
3. Apa saja macam-macam putusan hakim ?
4. Bagaimana kekuatan putusan hakim ? 


1.3 Tujuan Penulisan 
1. Untuk mengetahui arti putusan hakim.
2. Untuk mengetahui susunan dan isi putusan hakim.
3. Untuk mengetahui macam-macam putusan hakim.
4. Untuk mengetahui kekuatan putusan hakim. 


1.4 Manfaat Penulisan 
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, memperkaya khasanah perpustakaan serta menambah wawasan bagi pembaca maupun penulisnya.

BAB II
PEMBAHASAN
PUTUSAN HAKIM


2.1 Arti Putusan Hakim
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. 
Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. 
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat. 
Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar ara pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.
Bentuk penyelesaian perkara dibedakan atas 2 yaitu:
1. Putusan / vonis 
2. Penetapan / beschikking 
Suatu putusan diambil untuk suatu perselisihan atau sengketa sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yuridiksi voluntain.

2.2 Susunan dan Isi Putusan Hakim 
Putusan hakim terdiri dari:
1. Kepala putusan 
Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut. 
2. Identitas pihak yang berperkara. 
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
3. Pertimbangan atau alasan-alasan. 
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan tentang dudu perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.
Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. 
Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970.
4. Amar atau diktum putusan. 
Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.

2.3 Macam-Macam Putusan Hakim
Putusan hakim dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 
1. Putusan sela (tussen vonnis)
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu: 
a. Putusan preparatuir 
Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir.
b. Putusan inferlocutoin 
Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir. 
c. Putusan lucidentiel 
Yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. 
d. Putusan provisional 
Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. 

2. Putusan akhir 
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. 
Macam-macam putusan akhir antara lain: 
a. Putusan condemnatior 
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. 
b. Putusan declarator 
Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum. 
c. Putusan konstitutif 
Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. 
Dari ketiga sifat putusan diatas maka putusan yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanyal yang bersifat condemnatior.

2.4 Kekuatan Putusan Hakim 
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.
Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu: 
1. Kekuatan pembuktian mangikat 
Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu. 
2. Putusan eksekutorial 
Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menantinya dengan sukarela 
3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan) 
Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem (tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yag sama)

BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan 
- Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara sengketa antar pihak 
- Putusan hakim terdiri dari kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan dan amar 
- Macam-macam putusan hakim terdiri dari 2 yaitu putusan sela dan putusan akhir 
- Putusan hakim harus sesuai dengan perundang-undangan agar memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 

3.2. Saran 
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca memperkaya khasanah perpustakaan serta bermanfaat bagi semua pihak. 
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. 

DAFTAR PUSTAKA


Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Re-publish from _http://www.ikhsanudin.com/2009/06/makalah-hukum-acara-perdata-putusan.html

Jumat, 21 Agustus 2015

Makalah Tentang Judicial Review (Peninjauan Kembali)

PENDAHULUAN
Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan. Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht, seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya.
Judicial review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pemberian kewenangan kepada hakim sebagai penerapan prinsip check and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara dan cita-cita negara hukum-rechstaat maupun rule of law. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim tetapi lembaga parlemen maka disebut dengan istilah legislative review.
Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkancheck and balances dimana kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya judicial review itu, arti penting judicial review, serta tata cara pelaksanaannya. Sumber bahan makalah ini diambil dari berbagai buku karangan para pakar hukum tata negara yang tidak diragukan lagi kemampuannya serta dari artikel-artikel hasil seminar dan internet. Demikian semoga dapat menjadi sumbangsih bagi keilmuan dalam civitas akademik.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Judicial Review
Terdapat perbedaan dalam pendefinisian judicial review, diantaranya:
Menurut Encyclopedia Britannica:
“Judicial review is the power of courts of a country to determine if acts of legislature and executive are constitutional.”
Sedangkan menurut Ecyclopedia Americana:
“Judicial review, power exerted by the courts of a country to examine the actions of the legislative, executive, and administrative arms of the government and to ensure that such actions conform to the provisions of constitution.”
Menurut Miriam Budiardjo:
Mahkamah Agung … mempunyai wewenang untuk menguji apakah sesuatu undang–undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan undangundang serta peraturan peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang- Undang Dasar. Ini dinamakan “Judicial Review”.
Sri Sumantri berpendapat:
Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Sedangkan Bintan R. Saragih menyebutkan:
Judicial Review … adalah hak dari Mahkamah Agung untuk menilai atau menguji secara material apakah suatu undang-undang bertentangan dengan atau tidak berlaku undang-undang yang dinyatakan bertentangan atau tidak sesuai tersebut.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji materiil:
Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundangundangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (pasal 1 ayat (1)).
Meskipun belum ada definisi yang baku mengenai judicial review di Indonesia, tetapi pada umumnya judicial review diberi pengertian sebagai “hak uji materiil”, yaitu “wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.”
B. Urgensi Judicial Review
Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa urgensi judicial review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya, untuk itu diperlukan judicial activision.
Menurut Moh. Mahfud MD, minimal ada tiga alasan yang mendasari pernyataan pentingnya judicial activision:
Pertama, hukum sebagai produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang melahirkannya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap produk hukum akan mencerminkan visi dan kekuatan politik pemegang kekuasaan yang dominan sehingga tidak sesuai dengan hukum-hukum dasarnya atau bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis lebih tinggi.
Kedua, karena kemungkinan sering terjadi ketidaksesuaian antara suatu produk peraturan perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut melalui pembentukan dan pelembagaan Mahkamah konstitusi, Mahkamah perudang-undangan, Judicial Review, uji material oleh MPR dan lain sebagainya.
Ketiga, dari berabagai alternatif yang pernah ditawarkan, pelembagaan judicial review adalah lebih konkret bahkan telah dikristalkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas. Namun, tidak sedikit orang yang mengira bahwa dari penerimaan terbatas terhadap judicial review akan benar-benar dapat dilaksanakan dan telah mendapat akomodasi pengaturan yang cukup. Padahal ketentuan tentang judicial review yang ada di berbagai peraturan perundang-undangan itu memuat kekacauan teoritis yang sangat mendasar sehingga tidak dapat dioperasionalkan. Oleh karena itu diperlukan perombakan total terhadap peraturan mengenai judicial review, termasuk Perma No.1 Tahun 1993.
C. Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
1. Prinsip-prinsip hukum acara.
1.
Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan).
Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial reviewseharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:
a. Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review – harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karenabertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang berperkara.
2. Pengajuan permohonan atau gugatan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
3. Alasan mengajukan judicial review.
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatanjudicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
• Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
• Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
• Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
• Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
• Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi
4. Pihak yang berhak mengajukan judicial review.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.
Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.
Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perlu diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugat-an adalah kelompok masyarakat yang :
1. Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu.
2. Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundangundangan.
3. Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
4. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan.
5. Putusan dan eksekusi putusan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU – baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc)atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Judicial review adalah wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
2. Urgensi judicial review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya.
3. Proses beracara judicial review terikat pada asas praduga rechtmatig dan putusan memiliki kekuatan mengikat.
4. Pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan maupun permohonan.
5. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
6. Pihak yang berhak mengajukan judicial review adalah badan hukum, kelompok masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Siti. Praktik Judicial Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005.
Huda, Ni’matul. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review. Yogyakarta: UII Press. 2005.
Rositawati, Dian. dalam artikelnya yang berjudul “Mekanisme Judicial Review”. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2005.
Sabardiah, Maissy. dalam artikelnya yang berjudul “Legal Standing Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) Pada Mahkamah Konstitusi”. Fakultas Hukum UI.
Pan Mohamad Faiz. Jurnal Hukum Online. Desember 2008.

sumber_https://tadlo4all.wordpress.com/2009/06/02/judicial-review-peninjauan-kembali/

Makalah Pengawasan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan system pembayaran suatu Negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begit suatu bank memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi milik masyarakat. Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.1
Mengingat kegiatan perbankan bergerak dengan dana dari masyarakat atas dasar kepercayaan, maka setiap pelaku perbankan diharapkan tetpa menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sector perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya. Sejalan dengan harapan-harapan tersebut, Bank Indonesia sebagi bank sentral yang mempunyai peran pula dalam menetukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.2 Di situlah letak peran pentingnya pengawasan bank, karena system perbankan memiliki fungsi dan peran yang penting dan strategis dalam menggerak-tumbuhkan perekonomian.
Fungsi pengaturan dan pengawasan bank di tangan Bank Indonesia tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat. Fungsi ini semakin krusial setelah pemerintah melalui Pakto 88 meliberalisasikan industri perbankan nasional dengan mempermudah syarat-syarat pendirian bank baru. Momemtum liberalisasi memang benar-benar dimanfaatkan pelaku dunia usaha, sehingga lahirnya bank-bank baru terjadi dengan sangat cepat. Sayangnya, liberalisasi perbankan ini tidak disetai dengan peningkatan supply tenaga banker yang berkualitas.
Setelah melintasi kurun yang cukup panjang dan terus menerus berupaya memberi karya dan karsa bagi negeri, Bank Indonesia berupaya untuk menebarkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, upaya tersebut ditempuh dengan menjaga kestabilan nilai mata uang Rupiah yang ditandai dengan tercapainya sasaran inflasi dan stabilnya nilai tukar.
Kestabilan nilai mata uang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan berbagai aktivitas ekonominya. Lebih dari itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri sipil dan masyarakat kecil lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam melakukan tiga tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.
2. Rumusan Masalah
Permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sejarah Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral
2. Tujuan dan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral
3. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengawasan
3. Tujuan
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan seluruh mahasiswa dapat mengetahui dan memahami jawaban dari rumusan masalah yang dipaparkan dalam makalah ini.
1 Andian Sutedi, “Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger”, Likuidasi, dan Kepailitan, Jakarta, sinar Grafika,2007, hal 1.
2 Muhamad Djumhana, “Hukum Perbankan Indonesia (Cetakan Ketiga)” , Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2000, hal 276.
4. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam membahas makalah ini adalah dengan membahas persub judul, seperti yang telah dituliskan dalam rumusan masalah, yaitu terdapat tiga (3) masalah yang akan dibahas satu-persatu.
BAB II
PEMBAHASAN
1. SEJARAH BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Bank Indonesia adalah : “Bank Sentral Republik Indonesia, dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang akan dicapai melalui pelaksanaan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.” 3
Untuk memperbaiki keadaan keuangan sebagai warisan VOC dan pemerintahan Raffles, pemerintah Hindia Belanda memerlukan kehadiran lembaga bank, dan pada tanggal 10 Oktober 1827 berdirilah De Javasche Bank.Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di Indonesia. Salah satu keputusan penting Konferensi Meja Bundar adalah menunjuk De Javasche Bank NV sebagai bank sentral.
De Javasche Bank adalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun 1828. Meskipun De Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral akan tetapi pengaruh kepentingan kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan lain. 4
3 uu no 3 tahun 2004
4 Didik J.Rachbini, dkk., Op.cit., hlm. 1
Berdirinya De Javashe Bank telah mengawal sejarah perbankan di Indonesia. Sejak berdirinya, ketentuan-ketentuan yang mengatur bekerjanya De Javasche Bank sering kali mengalami perubahan dan yang terakhir sebelum nasionalisasi adalah Wet tot Vaststelling van de Javasche Bankwet, Stb. 1922 No. 180. Nasionalisasi De Javasche Bank direalisasikan direalisasikan melalui Keputusan Pemerintah No. 118 tertanggal 2 Juli 1951. Titik kulminasi proses nasionalisasi De Javasche Bank terjadi tatkala ditunjuk seorang putra bangsa Indonesia menjadi presiden baru bank tersebut, mengakhiri tradisi sebelumnya yang selalu dijabat oleh seorang Belanda.
Pada tahun 1953, keluarlah Undang-undang Pokok Bank Indonesia atau Undang-undang No. 11 Tahun 1953 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 40 tahun 1953, dimana isinya antara lain mencabut De Javasche Bank Wet Stb. 1922 No. 180 dan Stb. 1922 No. 181 dan didirikan Bank Indonesia yang merupakan bank sentral sebagai pengganti De Javasche Bank NV sebagai bank nasional kepercayaan negara.5
Berdasarkan Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965, Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara dan Bank Tabungan Negara dilebur ke dalam bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. KCP.65/UBS/1965, bank tersebut menjalankan usahanya masing-masing dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I, Unit II, Unit III, Unit IV, Unit V. Bank Negara Indonesia Unit I berfungsi sebagai sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Dan berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965, bank unit Indonesia Unit I dipisahkan kembali dari bank tunggal dan didirikan sebuah bank sentral di Indonesia dengan nama Bank Indonesia.
5 Marhaynis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hlm. 3
2. TUJUAN DAN FUNGSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, peran dan tugas utama Bank Indonesia difokuskan pada tiga sub sistem perekonomian yang terdiri atas moneter, perbankan, dan pembayaran. Pelaksanaan tiga bidang tugas tersebut akan sangat menentukan keberhasilan Bank Indonesia mencapai tujuan utamanya yaitu mempertahankan dan memelihara stabilitas nilai rupiah.6
Fungsi Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter
a. Lender of Last Resort
Peran pokok Bank Indonesia yang tetap dan tidak berubah dari ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 adalah sebagai pemberi pinjaman dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang mengalami krisis kesulitan pendanaan jangka pendek. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya membantu dengan kriteria mengalami mismatch yang disebabkan oleh risiko kredit dan risiko pembiayaan. berdasarkan prinsip syariah, risiko kredit atau risiko pasar. Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistematis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.Untuk mencegah penyalahgunaan kredit dari Bank Indonesia tersebut maka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibatasi selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah itu harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, bila kredit dari Bank Indonesia tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia berhak mencairkan agunan yang dikuasainya. 7
Formula seperti itu penting diungkapkan secara terbuka agar publik mempunyai kesempatan menilai kondisi suatu bank sebelum dikategorikan insolvent, bangkrut, mengalami mismatch atau ada indikasi moral hazard dijajaran pengurus atau pemiliknya. Di samping itu juga untuk menepis berkembangnya isu atau desas-desus tidak jelas yang tidak menguntungkan upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, transparan dan kompetitif. Selain itu, juga untuk menagkal penilaian subjektif seperti ketakutan yang tidak proporsional Transaparansi Bank Indonesia akan dinilai dari akuntabilitas yang terukur dalam menerapkan formula atau mengkategorikan lembaga keuangan yang patut memperoleh fasilitas pertolongan darurat. hanya atas dasar alih penutupan atau pencabutan izin suatu bank akan membawa risiko sistematik berupa domino effect yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang menjadi runtuh.
b. Pengendalian Moneter
Bank Indonesia dalam hal dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana dalam menetapkannya pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 8
Dalam hal nilai tukar, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Fungsi Bank Indonesia dalam hal ini adalah hanya terbatas sekedar memberi usulan kepada pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
6 Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 38.
7 Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
8 O. P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 23.
Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar itu antara lain :
• Devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar tetap (fixed rate)
• Intervensi pasar dalam sistem nilai tukar mengambang (floating rate)
• Penetapan nilai tukar harian serta lebar peta intervensi dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating rate).
Bank Indonesia juga berwenang melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka di pasar uang baik berupa rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan. 9
Fungsi Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran melaporkan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran. 10
Kewajiban menyampaikan laporan secara berkala dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat memantau penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan, penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna, termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian.
9 Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
10 Pasal 15 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Tuntutan yang mengemuka di masa depan adalah bagaimana Bank Indonesia mampu melengkapi instrumentasi dan keahliannya agar dapat mengikuti atau menselaraskan kepesatan kemajuan teknologi dan derivat sistem pembayaran yang telah berkembang demikian canggih dan mengglobal.Bank Indonesia bertugas dalam hal memperluas, memperlancar serta mengatur lalu lintas pembayaran giral antar bank, yaitu kegiatan bayar-membayar dengan warkat bank yang diperhitungkan atas beban dan untuk kepentingan nasabah bank yang telah ditetapkan.
 Sistem dan Penyelenggaraan kliring
Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, dan Bank Indonesia akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia dalam menetapkan mekanisme untuk meminimalkan risiko kegagalan pemenuhan kewajiban bank dalam penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. 11
 Mengeluarkan dan Mengedarkan uang
Salah satu fungsi bank sentral yang cukup vital adalah kewenangannya dalam menerbitkan uang dari suatu Negara (note issue), dan ini adalah kewenangan yang memonopoli dari bank sentral.Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kewenangan itu adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang, menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitasmemadai.Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dibebaskan dari bea materai dan mencabut atau menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian yang sama nilainya. Dalam hal ini, Bank Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama.
11 Penjelasan Pasal 18 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank
Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap bank baik dengan cara pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan tidak langsung adalah dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian,analisis, dan evaluasi laporan bank.
Pengawasan dini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Bank Indonesia mewajibkan setiap bank untuk memenuhi beberapa kegiatan yakni kewajiban untuk memberikan dan menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya dan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan operasional bank.
b. Laporan keterangan dan penjelasan tersebut disampaikan secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Kewajiban penyampaian laporan ini dapat dikenakan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank bila mereka mendapat fasilitas tertentu dari bank atau diduga mempunyai peran dalam kegiatan operasional bank.
Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu, untuk meyakinkan pengawasan hasil tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat.
3. KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PERBANKAN DI INDONESIA
Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan banyak pihak mempertanyakan mengenai sejauh mana Bank Indonesia telah melaksanakan tiga fungsi utamanya secara maksimal. Jawaban atas pertanyaan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek internal Bank Indonesia yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan ketiga fungsi Bank Indonesia.
Aspek-aspek internal tersebut terdiri dari kemampuan Bank Indonesia sebagai lembaga kepekaan Bank Indonesia terhadap permasalahan lingkungan, serta daya antisipatif Bank Indonesia dalam menghadapi situasi yang akan dating dan penelaahan tterhadap aspek-aspek internal ini harus diletakkan pada kedudukan Bank Indonesia yang sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 merupakan bagian pemerintah.
Sesuai dengan status independen, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengakibatkan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 12
a. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengendalian Moneter
Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan susunan operasional, yaitu uang primer (base money) dan selanjutnya untuk mengamati perkembangan indicator-indikator yang memberikan tekanan pada harga dan nilai tukar rupiah. Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu :
 Menggunakan Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas rupiah di pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi pasar terbuka dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu melaui penjualan Sertifikat Bank Indonesia dan intervensi rupiah. Penjualan Sertifikat Bank Indonesia dilakukan melalui lelang sehingga tingkat diskonto yang terjadi benar-benar mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang. Sedangkan kegiatan intervensi rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyesuaikan kondisi pasar uang, baik likuiditas maupun tingkat suku bunga.
 Penentuan Tingkat Diskonto
Fasilitas ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendanaannya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjamin suratberharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia dan atau Surat Berharga Pasar Uang yang dikeluarkan bank lain.
 Pengaturan Kredit atau Pembiayaan
Pengaturan kredit merupakan pengawasan terhadap praktek perkreditan yang dijalankan oleh perbankan dan membatasi pemberian kredit untuk kestabilan
dan mencegah terjadinya inflasi.
 Penetapan Cadangan Wajib Minimum bagi Perbankan
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya dalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Umum (GWM) sebesar 5 % (lima persen) dari dana pihak ketiga yang diterima baik yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter, maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya.
 Persuasi Moral (Moral Suasion)
Kebijakan persuasi moral ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian bank Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau menghimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit dan realistis. dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar. Alur mekanisme transmisi kebijakan moneter berawal dari operasi kebijakan moneter yang diarahkan untuk mempengaruhi suku bunga jangka pendek sebagai target operasional, dimana perubahan suku bunga jangka pendek mempengaruhi berbagai variabel seperti suku bunga jangka panjang, harga aset, variabel ekspektasi, dan nilai tukar.
Kebijakan pengendalian moneter dimaksudkan untuk memberikan kepercayaan kepada perbankan dan sektor swasta untuk mengatur dirinya sendiri dalam memaksimalkan dan mengefisienkan sumber-sumber pendanaan masyarakat pada sektor-sektor yang memerlukan bantuan kredit perbankan.Demikian pula dalam mengelola cadangan devisa negara yang dikuasainya, Bank Indonesia berwenang menyelenggarakan berbagai jenis transaksi devisa (menjual, membeli, dan/ atau menempatkan devisa, emas, dan surat-surat berharga secara tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman) serta dapat menerima pinjaman luar negeri. Tiga asas utama yang menjadi pegangan Bank Indonesia dalam mengelola cadangan devisa adalah likuiditas (liquidity), keamanan (security), dan pendapatan yang optimal (profitability).
Untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, Bank Indonesia menyusun rencana devisa dengan memperlancar usaha-usaha pembangunan ekonomi nasional serta memperhatikan posisi likuiditas dan solvabilitas internasional. Rencana devisa yang disusun digunakan untuk menyusun rencana sistem moneter. Berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam pengendalian moneter, maka terdapat kewajiban menyelenggarakan survei, makro maupun mikro secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk memperoleh data ataupun informasi ekonomi dan keuangan secara tepat waktu dan akurat.
Kegiatan atau survei itu dapat dilakukan Bank Indonesia itu sendiri maupun pihak lain yang ditunjuk dan setiap badan wajib memberikan keterangan atau data yang diperlukan dengan catatan akan dijamin kerahasiaannya, kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam undang-undang.
b. Kewenangan Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran
Sub-sub sistem itu adalah, pertama, instrumen pembayaran yang dapatberupa alat pembayaran tunai maupun elektronik. Kedua, lembaga-lembagapeserta kliring yang terdiri dari bank dan lembaga non bank yang biasamengeluarkan alat pembayaran yang berlaku dalam sistem pembayaran. Sistem pembayaran tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan teknisberkaitan dengan kegiatan kliring antar bank. Tetapi sebenarnya sistempembayaran setidaknya terdiri dari lima sub sistem yang berada di dalamnya.
Yang dimaksud dengan lembaga non bank adalah perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit. Sebagai anggota dan peserta kliring, maka bank dan lembaga keuangan non bank berada dalam pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia yang berkaitan dengan upaya menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga adalah prosedur pembayaran, dari sisi Bank Indonesia sebagai pengatur sistem pembayaran, prosedur yang dikehendaki adalah yang mampu meminimalkan risiko dan mengupayakan proses pembayaran sesingkat mungkin. Bank Indonesia bertanggung jawab menjaga agar proses perputaran uang dalam sistem pembayaran berjalan dengan cepat, sehingga setiap orang yang membutuhkan uangnya dapat segera menerima uangnya tanpa harus menunggu terlalu lama. Makin cepat uang diterima oleh pihak yang berhak, dengan sendirinya risiko yang harus dihadapi oleh pihak-pihak yang bersangkutan termasuk Bank Indonesia juga makin kecil.
Sub sistem keempat dalam sistem pembayaran adalah infrastruktur yang tersedia. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur sistem pembayaran sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi sistem pembayaran oleh Bank Indonesia maupun lembaga-lembaga peserta kliring. Kelancaran sistem pembayaran juga ditentukan oleh teknologi yang memadai, sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian sebagai bentuk perlindungan kepentingan masyarakat luas, sehingga masyarakat selalu merasa aman saat memasukkan dananya ke dalam sistem perbankan.
Bank Indonesia menangkap setiap masalah sistem pembayaran nasional yang sedang dan akan berkembang, Bank Indonesia selau menyerap dan mempelajari masukan-masukan dan informasi dari seluruh anggota kliring. Selain hubungan-hubungan non formal dengan peserta kliring dalam sistem pembayaran nasional, Bank Indonesia juga aktif melakukan hubungan dengan pihak-pihak luar negeri. Hubungan itu dilakukan melalui forum pertemuan bank-bank sentral
negara lain. Melalui forum internasional itu, Bank Indonesia mendapat informasi mengenai perkembangan yang terjadi pada sistem pembayaran di masing-masing negara peserta. Informasi-informasi tersebut dibandingkan dengan kondisi sistem pembayaran nasional dan dipelajari kemungkinan penerapannya.
Wewenang Bank Indonesia dalam kelancaran sistem pembayaran adalah : 13
a. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dari izin atas penyelenggaraan jasa sistem perbankan.
b. Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
c. Mengatur sistem kliring antar bank, baik dalam mata uang rupiah maupun asing.
d. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
e. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yanng sah.
f. Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dari peredaran, termasuk memberikan penggantian dengan nilai yang sama.
c. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengawasan Bank
 Kewenangan dalam Menetapkan Regulasi
Dalam membina bank, Bank Indonesia memberikan petunjuk-petunjuk cara umum ataupun secara individual dalam menyelenggarakan manajemen yang baik.
Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yang akan memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, yang antara lain memuat : 14
1) perizinan bank;
2) kelembagaan bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan;
3) kegiatan usaha bank pada umumnya;
4) kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah;
5) merger, konsolidasi, dan akuisisi bank;
13 . Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 172.
14 Penjelasan Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
6) sistem informasi antar bank;
7) tata cara pengawasan bank;
8) sistem pelaporan bank kepada Bank Indonesia;
9) penyehatan perbankan;
10) pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank;
11) lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.
 Kewenangan dalam Memberikan dan Mencabut Izin atas Kelembagaan dan Kegiatan Usaha Tertentu dari Bank
Dalam hal pemberian dan pencabutan izin atas suatu bank, Bank Indonesia berwenang memberikan dan mencabut izin usaha bank, memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, dan memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Pengaturan tersebut merupakan strategi pembuka (entry strategy), dalam pengaturan bank guna melakukan seleksi terhadap integritas dari calon pemilik dan pengurus, kecukupan modal guna mendukung perkembangan risiko bank, profesinalisme manajemen untuk mengelola bank secara sehat dan bertanggung jawab, serta feasibilitas dan prospek usaha yang layak, sehingga dapat merealisasikan kontribusi positif bagi sistem perbankan yang sehat.
Pengaturan terhadap pemilik merupakan aspek pokok, karena motivasi dan arah perkembangan bank ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham sehingga penilaian terhadap integritas, reputasi, dan komitmen pemegang saham terutama pemegang saham mayoritas atau pemegang saham yang memiliki kontrol suara merupakan syarat yang sangat penting bagi terwujudnya usaha bank yang sehat. Oleh karena itu, aspek pengaturan perizinan ini cukup mencakup syarat perizinan bagi perubahan pemegang saham, terutama pemegang saham
yang memegang kontrol terhadap bank, serta perubahan pemegang saham dalam rangka akuisisi, merger, dan konsolidasi.
Pada dasarnya pengaturan aspek ini mencakup pemberian arah dan pedoman bagi bank tentang :
a) Kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh bank.
b) Manajemen bank berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang sehat.
c) Prinsip-prinsip manajemen risiko yang hati-hati dan dapat diandalkan.
d) Kewajiban untuk menyelenggarakan administrasi, dokumentasi dan akuntansi yang lengkap, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, baik untuk kepentingan manajemen bank maupun untuk informasi yang diperlukan untuk pengawasan bank.
 Penetapan sanksi terhadap penyimpangan dan pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan. ketetapan-ketetapan.
 Hal-hal lain yang dinilai penting dan mengandung risiko yang dapat merugikan masyarakat dan atau kepentingan sistem perbankan yang sehat.
Kewenangan dalam Pengawasan Bank
Dalam Bank Indonesia terdapat beberapa satuan kerja di bidang pengawasan dan pengaturan bank Unit Kerja Pengaturan dan Pengembangan Perbankan (UPPB). Di unit ini disusun peraturan mengenai permodalan, batas maksimum pemberian kredit (BMPK), rasio kecukupan modal (CAR), nisbah antara pinjaman dan simpanan (LDR) dan sebagainya. Pengawasan itu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu pengawasan langsung yang ditangani oleh Urusan Pemeriksaan Bank (UPmB), dan pengawasan tidak langsung dilakukan oleh Urusan Pengawasan Bank (UPwB).
Bank Indonesia tidak gegabah dalam memberikan bantuan kepada bank-bank yang bermasalah. Hanya bank-bank yang dinilai viable saja mendapatkan pertolongan. Bank-bank yang tidak sehat atau rusak, apalagi jika biaya untuk ”memperbaiki” lebih besar ketimbang probabilitas untuk meraih keuntungan, tidak dapat dikategorikan ”patut” ditolong.
Untuk melihat bahwa bank-bank itu dinyatakan sehat, maka Bank Indonesia menetapkan pengkualifikasian terhadap bank dalam melihat tingkat kesehatan bank. Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas beberapa aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional.
Penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMEL yang terdiri dari :
1. Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
 kecukupan pemenuhan kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku;
 komposisi permodalan;
 trend ke depan/ proyeksi KPPM;
 aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal bank;
2. Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas aset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
 aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif;
 debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit;
 perkembangan akt iva produktif bermasalah/ non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif;
 tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP);
 kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif;
 sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif;
 dokumentasi aktiva produktif; dan
 kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.
3. Manajement
Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
 manajemen umum;
 penerapan sistem manajemen risiko; dan
 kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank
Indonesia dan atau pihak lainnya.
4. Rentabilitas (Earnings)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
 return on asset (ROA);
 return on equity (ROE);
 net interest margin (NIM);
 Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO);
 Perkembangan laba operasional;
 komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi pendapatan;
 penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya; dan
 prospek laba operasional.
 Liquidity
5. Likuiditas (Liquidity)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
 aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan;
 I-month maturity mismatch ratio;
 Loan to Deposit Ratio (LDR);
 Proyeksi cash flow 3 bulan mendatang;
 ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti;
 kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management);
 kemampuan bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya; dan
 stabilitas dana pihak ketiga (DPK)
6. Sensitivitas terhadap Risiko Pasar (Sensitivity to Market Risk)
Apabila menurut penilaian, Bank Indonesia menilai suatu bank mengalami kesulitan dan membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar : 15
1. Pemegang saham menambah modal;
2. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
3. Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
4. Bank melakukan merger atau konsolodasi dengan bank lain;
5. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
6. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
7. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sector jasa keuangan. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikanlaporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Lembaga ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan denganpelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesidan meminta penjelasan dari Bank Indonesia atas keterangan dan data makro yang diperlukan.
15 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbanakan di Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 126.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Bank Indonesia adalah : “Bank Sentral Republik Indonesia, dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang akan dicapai melalui pelaksanaan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”
Pada Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, peran dan tugas utama Bank Indonesia difokuskan pada tiga sub sistem perekonomian yang terdiri atas moneter, perbankan, dan pembayaran.
2. SARAN
Agar Bank Indonesia kedepannya tetap melakukan pengembangan pengawasan sesuai dengan perkembangan perekonomian
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Nomor 3 tahun 2004
Didik J.Rachbini, dkk., Op.cit., hlm. 1
Marhaynis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hlm. 3
Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 38.
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
O. P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 23.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 172.

Sumber_https://angelinasinaga.wordpress.com/2012/12/06/pengawasan-bank-indonesia-sebagai-bank-sentral-2/

Makalah Tentang Komisi Yudisial

BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sangat erat kaitannya dengan hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim. Adapum maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim ini adalah Sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Tetapi kenyataannya sekarang hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Komisi Yudisial (KY) menemukan banyak laporan yang menyatakan hakim melakukan praktik yang dilarang dalam menangani perkara. Itu menunjukkan kemerosotan penegakan hukum akibat penegak hukum yang tak profesional.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dasar hukum dibentuknya komisi yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rumusan sebagai berikut :
(1) Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
(4) Susunan,kedudukan,dan keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 24B ayat (4) UUD 1945, maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut,dalam pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi yudisial dalam struktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam lembaga negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri(state auxiliary institution) . Sebenarnya ide perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968, setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukumanjabatan para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri Kehakiman.
Kedudukan Komisi Yudisial sebagai Lembaga Yudikatif.
Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan,lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan proses pengadilan yang jujur, objektif, tidak memihak, dan adil. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh keadilan. Keistimewaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk lembaga. Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang,dan produk eksekutif,yang berupa kebijakan atau aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan rakyat” atau “demi kepentingan umum”. Sementara yudikatif mendasarkan putusannya(putusan hukum) pada “demi keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentikan sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”. Dengan predikat itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya “perpanjangan Tuhan”. Beranjak dari kenyataan yang ada bahwa masih banyak hakim yang salah dalam mengambil keputusan,Maka dari itu diperlukan suatu lembaga negara yang dapat mengawasi kinerja hakim, yaitu Komisi Yudisial yang bertujuan Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim dan Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Dengan adanya lembaga seperti Komisi Yudisial mewujudkan harapan warga negara serta kepercayaan terakhir untuk memperoleh keadilan (landing of the last resort). Menurut Jimly asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan Kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Komisi Yudisial sebagai badan LANDING OF THE LAST RESORT untuk menjadi kepercayaan terakhir serta mewujudkan harapan warga negaranya dalam mencapai suatu keadilan sangat terbatas,hal ini didasarkan oleh UU no 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dalam pasal 13 dan pasal 21 bunyinya sebagai berikut: PASAL 13 Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. PASAL 21 Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian karena adanya amanat dari UU 22 tahun 2004 inilah Komisi Yudisial sebagai LANDING OF THE LAST RESORT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sangat terbatas, menurut penulis sendiri seharusnya Komisi Yudisial diberikan suatu kewenangan yang lebih luas dalam hal memantau kinerja Hakim agar hakim sebagai badan indepent dan impartial judiciary benar-benar terjaga kualitasnya, dan dapat mendorong adanya suatu pembangunan dalam sistem peradilan yang bebas dan bersih dari mafia hukum.
Peranan Komisi Yudisial Dalam Membangun Peradilan Yang Bersih.
Salah satu wujud terbentuknya Komisi Yudisial adalah untuk membangun suatu sistem peradilan yang bersih, tentu hal ini ada kaitannya dengan kode etik dan kode etik profesi hakim dimana kode etik dan kode etik profesi hakim merupakan suatu acuan hakim dalam setiap kali menjalankan tugas dalam mengambil putusan.Komisi Yudisial dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan laporan dan temuan dari masyarakat indonesia.Hal ini diatur dalam UU 2 tahun 2005 tentang tata cara pengawasan hakim. Adapun Komisi Yudisial dalam menerapkan sanksi diatur dalam pasal 14 yang bebrbunyi sebagai berikut:
(1) Komisi Yudisial dalam rapat pleno berwenang menilai jenis dan kualitas pelanggaran terhadap kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, dengan memperhatikan Kode Etik Hakim, dan menentukan jenis sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(2) Jenis sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teguran tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian. Dengan adanya sanksi seperti ini maka akan terlihat sangat jelas bahwa Komisi Yudisial sangat berpengaruh dalam membangun suatu sistem peradilan yang bersih.Agar nantinya hakim dalam mengambil putusan sesuai dengan apa yang ada dalam irah-irah atau kepala putusan yaitu “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.
Tugas, Wewenang Dan Tujuan Komisi Yudisial
Komisi Yudisial memiliki wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 13 UU Nomor 22 2004 yaitu: Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial
1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
2. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
b. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
c. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Tujuan Komisi Yudisial:
a. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
c. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.
d. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.
Kode Etik Komisi Yudisial
Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Anggota Komisi Yudisial adalah norma-norma yang bersumber dari nilai-nilai agama, moral dan nilai yang terkandung dalam sumpah jabatan Anggota Komisi Yudisial yang harus dilaksanakan oleh Anggota Komisi Yudisial dalam menjalani kehidupan pribadinya serta dalam menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Kode Etik KY terdapat pada Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 tentang kode etik dan pedoman tingkah laku anggota komisi yudisial yaitu:
a. Kepribadian
Bahwa setiap anggota Komisi Yudisial harus memiliki sifat arif dan bijaksana serta selalu mempertahankan sikap mental independen dalam menjalankan tugas sebagaimana diatur dalam undang-undang, Menjadi panutan dan teladan, baik dalam menjalankan tugas Komisi Yudisial maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Menjaga suasana yang harmonis, bersikap dinamis dan objektif, saling menghargai, semangat kebersamaan, serta saling menghormati dalam menjalankan tugas Anggota
Komisi Yudisial serta Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Ketentuan tersebut terdapat pada pasal 4 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 5 Tahun 2005
b. Tanggung jawab
Dalam menjalankan tugasnya Anggota Komisi Yudisial bertanggung jawab atas hasil pelaksanaan tugasnya baik secara pribadi maupun lembaga.Selalu mempertahankan integritas, obyektifitas, profesionalitas dan harus bebas dari benturan kepentingan baik pribadi atau kelompok.Wajib menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Konflik kepentingan
Apabila ada kepentingan pribadi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam suatu rapat, maka sebelum mengemukakan pendapatnya, Anggota Komisi Yudisial terkait harus mengatakan hal tersebut di hadapan seluruh peserta rapat. Anggota Komisi Yudisial mempunyai hak suara pada setiap pengambilan keputusan kecuali apabila rapat Komisi Yudisial memutuskan lain, karena yang bersangkutan mempunyai konflik kepentngan dalam permasalahan yang sedang dibahas. Anggota Komisi Yudisial yang sedang terlibat perkara di pengadilan, dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengauhi jalannya peradilan dan anggota Komisi Yudisial harus mengundurkan diri apabila memeriksa subyek pemeriksaan yang ada hubungan kekerabatan atau hubungan keluarga dengan anggota yang bersangkutan.
Peran KY Dalam Mewujudkan Hakim Yang Berwibawa
Peran Komisi yudisial (KY) dalam mewujudkan hakim yang berwibawa tidak lepas dari tugas dan wewenang KY diantara yaitu: dimulai dari melakukan pendaftaran calon Hakim Agung sampai dengan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR
Berdasarkan Pasal 18 UU Nomor 22 2004, Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan dan Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Dalam jangka waktu paling lambat 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 22 UU No. 22 2004 Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana maksud diatas, Komisi Yudisial:
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
a. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
b. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
c. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
d. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Alasan Dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia
Alasan utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah:
Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyaraka dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal,
Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah,
Dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman,
Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), dan
Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Di Indonesia ini diadopsi dengan membentuk Komisi Yudisial. Hanya saja, selain dua alasan umum bagi negara hukum di atas, juga terdapat alasan-alasan khusus dalam pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia.
Alasan utama yang mendorong timbulnya pemikiran mengenai pentingnya keberadaan KY adalah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik. Kehadiran KY merupakan ikhtiar dari bangsa ini untuk mengawal proses reformasi peradilan agar berjalan sesuai tuntutan reformasi yaitu bebas dari KKN. Namun, kenyataannya, institusi pengadilan belum tersentuh agenda reformasi. Hal ini terlihat dari hasil survey integritas sektor publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2008 pengadilan merupakan institusi yang paling rawan suap. Praktek suap mengakibatkan institusi penegakkan hukum ini terjerembab dalam kubangan mafia peradilan.
Alasan kedua, pasca penyatuan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah MA, ada kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman. Potensi abuse of power sangat besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap jalannya kekuasaan kehakiman tersebut. Kecenderungan tidak transparannya pengawasan internal sangat kentara, seperti tidak diumumkannya nama-nama hakim yang mendapat sanksi dari MA ke publik. Selain itu, masih kentalnya esprit de corps sesama hakim membuat tidak objektif dan transparan hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh MA.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Republik Indonesia yang memiliki Visi dan Misi, seperti: VISI Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan, dan profesional. MiSi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten. Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan hukum dan keadilan. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya. Visi dan misi komisi yudisal jelas merupakan suatu usaha atau upaya dalam membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum. Selain faktor dari Komisi Yudisial sebagai LANDING OF THE LAST RESORT untuk membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum terdapat banyak faktor pendukung lainnya,seperti tidak terlepas dari peran serta para penegak hukum dalam hal ini juga peran serta dari Masyarakat itu sendiri. Faktor inilah yang akan membangun suatu sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum.
Terdapat dua alasan penting yang mendasari dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia, yaitu:
Kegagalan sistem yang ada saat ini, sehingga dibutuhkan terobosan baru untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.
Adanya kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman, pasca penyatuan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah MA. Potensi abuse of power sangat besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap jalannya kekuasaan kehakiman tersebut. Karena alasan-alasan yang terjadi di Indonesia itulah, dan untuk mereformasi peradilan yang ada, maka Komisi Yudisial dibentuk.


Sumber:_http://farid-wuz.blogspot.com/2014/03/makalah-tentang-komisi-yudisial.html